Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora RI) terus memberikan perhatian terhadap peran dan tantangan perempuan menuju Indonesia Emas 2045.
Jakarta: Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora RI) terus memberikan perhatian terhadap peran dan tantangan perempuan menuju Indonesia Emas 2045.
Hal itu disampaikan langsung oleh Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga (Wamenpora) Taufik Hidayat secara virtual pada acara Webinar Bulan Pemuda dalam Menghadapi Tantangan dan Resiko Anak Perempuan di Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045
yang diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dari Lantai 8, Kemenpora, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10) siang.
Pada acara tersebut Wamenpora Taufik Hidayat mengatakan membangun pemuda tidak bisa dilakukan oleh satu kementerian atau lembaga saja, tetapi butuh upaya kolektif dengan melibatkan berbagai sektor. Untuk itu diperlukan koordinasi lintas sektoral, sehingga peran setiap lapisan dapat terdistribusi secara tepat dan efektif.
"Masih dalam semangat hari sumpah pemuda, saya mengajak semua pihak untuk bersama-sama bersinergi dalam membangun sektor kepemudaan," kata Wamenpora.
Wamenpora juga mengatakan hari ini kita memiliki Indeks Pembangunan Pemuda atau istilah yg sering digunakan adalah IPP. Melalui IPP ini kita bisa melihat berbagai domain yang melibatkan unsur kepemudaan, mulai dari pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan serta domain gender dan diskriminasi.
Secara umum, menurutnya pembangunan pemuda Indonesia yang ditunjukkan oleh IPP mengalami sejumlah kemajuan di beberapa domain diantaranya gender dan diskriminasi. Salah satu indikator penyusun domain gender dan diskriminasi adalah angka perkawinan usia anak.
"Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, capain indikator ini mengalami penurunan dimana pada tahun 2020 capaian sebesar 10.35, tahun 2021 kembali turun di angka 9.23, 8.06 pada tahun 2022 dan terus turun hingga tahun 2023 capain sebesar 6, 92," ujarnya.
Turunnya angka perkawinan usia anak ini tentunya membawa angin positif, karena perkawinan usia anak bisa memberikan dampak negatif misalnya saja beberapa kasus anak yang dilahirkan mengalami stunting karena ibu yang hamil di usia anak biasanya belum siap secara fisik dan juga psikologisnya.
"Untuk itu upaya pencegahan perkawinan usia anak ini harus dilakukan secara masif dengan melibatkan seluruh kementerian, lembaga, organisasi, media, akademisi dan dunia usaha yang sering kita sebut dengan elemen pentahelix," tambahnya.
Selanjutnya dirinya berpesan kepada seluruh peserta kegiatan ini, kepada pengurus Kowani sebagai federasi bagi organisasi perempuan di Indonesia, mari bersama-sama kita mendukung upaya pemerintah melalui program/kegiatan yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Pelayanan Kepemudaan sebagai ikhtiar untuk meningkatkan capaian IPP khususnya pada domain Gender dan diskriminasi agar perempuan - perempuan hebat ini dapat mencetak generasi yang tangguh, berkualitas, bertanggung jawab dan berakhlak mulia.(amr)